Di era sekarang ini, banyak profesi yang mulai overthinking, termasuk penulis fiksi. Waduh, kira-kira akan seperti apa nasib penulis fiksi di Era AI ini? Apa bener kita sebagai penulis fiksi bakal punah?
Rasanya, kekhawatiran ini cukup wajar, mengingat mesin yang disebut Artificial Intelligence ini sudah bisa bikin artikel, puisi, cerpen bahkan novel. 

Bahkan, mesin-mesin ini bisa menulis super cepat. Kalau manusia pada umumnya bisa menulis satu bab fiksi sebanyak 1000 kata dalam waktu 30 – 60 menit, bayangin aja, AI bisa menulis kurang dari lima menit saja. 

Beberapa di antara para penulis ada yang mulai insecure dengan skill-nya sendiri, ada juga yang skeptis, menjadi anti AI dan mengatakan bahwa ya … penulis yang pakai AI itu bukan penulis. 

Yuk … kita bahas, Bestie

Baca juga : Apa itu Logical Fallacy

Menilik Sejarah Manusia vs Mesin

Kalau kita lihat sejarah, setiap kali ada teknologi baru, selalu ada profesi yang panik. Ada yang tumbang, tapi ada juga yang justru makin berjaya. 

Jadi, ayo kita analisa bareng, nasib penulis fiksi di era AI, bakal tersingkir atau terevolusi?

1. Era Mesin Cetak

nasib_penulis_fiksi_di_era_ai_mesin_cetak

Pada abad ke-15, sebelum mesin cetak ditemukan, semua buku ditulis manual. Ada profesi khusus bernama scribe alias penyalin naskah. Begitu Gutenberg menciptakan mesin cetak, profesi itu langsung hilang.

Tapi, bukan berarti penulis lenyap. Justru sebaliknya, buku makin mudah diakses, literasi naik, dan penulis makin dibutuhkan. Alih-alih menghabiskan waktu lama nulis dengan pena, mesin ini jadi alat baru buat penulis.

2. Era Internet

Lompat ke tahun 1990-an, internet mulai booming. Banyak orang takut buku fisik dan media cetak bakal punah. Memang benar sih, beberapa bisnis majalah dan koran yang nggak beradaptasi jadi tumbang.

Tapi, internet juga melahirkan profesi penulis baru kayak blogger, penulis konten SEO, dan novelis digital di Wattpad atau platform online

Lagi-lagi terbukti, pada fase ini, ada sebagian penulis yang nggak mati, tapi mereka justru berevolusi.

3. Era AI

Sekarang, AI udah jadi kayak perpaduan mesin cetak otomatis dan novelis digital. AI bisa nulis lebih cepat, lebih banyak, dan lebih murah. Nggak heran kalau banyak penulis mulai insecure. Tapi sejarah sudah menunjukkan, biasanya, yang tersingkir adalah yang menolak perubahan.

Sayangnya, nasib kamu mungkin suram kalau kamu ada di barisan “tim skeptis”.

Yang adaptif? Mereka justru makin bersinar. Nggak percaya? Kalau sejarah mesin cetak kurang gong, ayo lihat sejarah lainnya. 

Dulu, desain grafis itu identik dengan lukisan tangan. Poster film, iklan sabun, sampai sampul buku semuanya digambar manual. Butuh waktu lama, butuh skill tinggi, dan biasanya cuma bisa dikerjain segelintir orang yang memang berbakat dan asah skill bertahun-tahun.

Lalu datanglah era komputer. Tiba-tiba, ada software desain kayak CorelDraw dan Photoshop yang bikin menggambar jadi lebih cepat. Apa yang terjadi?

Para ilustrator manual banyak yang panik. Sebagian bilang, “Ah, desain komputer itu nggak ada seninya!”

Tapi sebagian lagi mikirnya, “Gimana caraku bisa belajar software ini biar tetap relevan?”

Hasilnya? Yang nolak sepenuhnya, ya tenggelam. Skill mereka dihargai di niche yang makin sempit. Tapi yang adaptif justru makin berjaya. Mereka bisa bikin desain lebih cepat, lebih variatif, dan bisa kerja di industri yang lebih luas.

Kalau kita ngomongin graphic designer jaman now, apa skill utama yang paling dicari? Yup, fundamental desain dan kemampuan menggunakan software

Jadi, balik lagi, apa penulis fiksi akan tersingkir di era AI?

Jawaban singkatnya : bisa iya, bisa nggak.

Risiko Tersingkir Itu nyata. AI udah bisa produksi novel utuh. Brand udah pakai AI buat generate caption dan storytelling. 

Brand mulai berpikir, “Ngapain bayar mahal kalau AI bisa bikin konten cepat dan murah?”

Tulisan yang terlalu standar udah gampang banget ditulis mesin.

Kalau penulis hanya fokus ke konten generik tanpa ciri khas, kemungkinan besar mereka bakal tersingkir. 

Sama kayak para penyalin naskah terdahulu. Kenapa mereka tersingkir? 

Karena mereka hanya menyalin, nggak melakukan pemikiran yang dalam, kreatifitas, filosofis dan hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh otaknya manusia.

Nasib Penulis Fiksi di Era AI Masih Ada Peluang Besar Buat Berevolusi

Di sisi lain, ada hal-hal yang AI susah banget gantiin. Dan inilah titik di mana penulis bisa naik kelas.

Gimana caranya penulis fiksi bisa bertahan di era AI? Kalau AI udah punya skill kayak kita bahkan lebih baik, kita harus apa, dong?

1. Tulis dengan Jiwa, Bukan Sekadar Kata

Dari pengalamanku mencoba macam-macam AI buat nulis fiksi, AI bisa bikin kalimat rapi, tapi seringnya hambar dan berulang-ulang. 

Ya … walaupun masuk akal juga kalau dibilang ini masih tahap pengembangan. Tapi, tulisan manusia punya sesuatu yang beda yaitu emosi, keresahan dan terkadang dengan kalimat yang nggak terlalu terstruktur tapi justru lebih ngena.

2. Bangun Komunitas Pembaca

Sekarang, penulis bukan cuma soal jualan buku. Tapi juga bangun hubungan dengan pembaca. Bisa lewat TikTok, Twitter/X, Instagram, Whatsapp atau Discord.

AI bisa bikin teks, tapi dia nggak bisa jadi role model atau figur inspiratif. Itu cuma bisa dilakukan sama penulis manusia. Kalau kamu nggak bangun hubungan yang lebih personal sama pembaca kamu, kamu lebih mudah tenggelam.

3. Eksperimen dengan Media Baru

nasib_penulis_fiksi_di_era_ai_podcast

Storytelling sekarang nggak cuma teks. Ada podcast, game interaktif, webtoon, bahkan short story series di TikTok.

Penulis yang berani eksplorasi medium baru justru bakal punya peluang gede. AI bisa bantu bikin draft, tapi kreativitas buat gabungin cerita dengan format baru tetap ada di tangan manusia.

4. Jadi Suara Kritis Zaman

Sejak dulu, penulis punya peran penting sebagai pengkritik sosial. Dari George Orwell dengan 1984 dan Animal Farm, sampai Pramoedya Ananta Toer dengan Bumi Manusia di Indonesia.

AI bisa bikin kalimat rapi, tapi dia nggak bisa punya sikap moral atau keberpihakan, AI nggak bisa resah sama isu sosial. Itu ruang yang nggak bisa digantikan oleh mesin. 

Tulisan harusnya nggak sekedar bercerita, tapi bersuara. 

Penutup 

Pada akhirnya, kita tetap berhadapan dengan dua pilihan saat memikirkan seperti apa nasib penulis fiksi di era AI ini. Mana yang menimpa kita, tergantung pilihan kita sendiri. 

Kalau kamu mau skeptis, menghindari AI sepenuhnya dan nggak mau tahu cara kerjanya, kamu mungkin akan berakhir seperti penyalin naskah dalam sejarah yang menolak menggunakan mesin cetak, atau seperti desainer grafis yang nggak mau pakai CorelDraw. 

Tapi kalau kamu mau menjadikan AI sebagai alat yang mempercepat kinerja dan produktivitasmu, sementara kamu sendiri fokus belajar hal fundamental dan meningkatkan skill unik, wah, kamu bisa jadi punya daya jual yang tinggi. 

Perpaduan skill badass + kecepatan itu susah dikalahkan, Bestie

Secara garis besar, ini dia tips buat kamu supaya masuk ke kategori jenis penulis yang berhasil berevolusi di era AI :

1. Belajar Fundamental. 

Jangan banggain lagi skill nulis dadakan. Chat GPT ketawa tuh di pojokan. 

Belajarlah fundamental kepenulisan fiksi sampai ke akar-akarnya. Apa itu plot, struktur plot, pembangunan karakter, menciptakan twist, ending dan lain-lain. Skill tahu bulatmu, alias ngegoreng dadakan itu, lama-lama nggak bakal laku.  

2. Jadikan AI partner, 

bukan musuh. Pakailah AI buat brainstorming, bikin kerangka, atau cek grammar. Tapi sentuhan akhir tetap harus manusiawi. 

Kalau kamu serahkan urusan plot apalagi twist ke AI, kamu bakal dapat cerita yang kualitasnya udah kayak baju di departement store. Yup, kembaran sama ribuan manusia awokwokwok. Kalau kamu mau ceritamu stand out kayak baju butik, mikir, Bestie

3. Asah gaya personal. 

Buat author voice-mu sendiri. Kamu penulis yang mau bersuara tentang apa? Pembaca suka tulisan yang punya voice. Kalau tulisanmu bisa bikin orang bilang, “Ini pasti karya kamu,” berarti kamu aman.

4. Bangun personal brand. 

Sekarang orang nggak cuma baca tulisan, tapi juga pengen kenal penulisnya. Jadi, jangan cuma sembunyi di balik teks, bangun media sosialmu sekarang juga.

Kalau kamu mau jalankan tipsku dengan mempertajam fundamental menulis, kamu bisa ikutan rangkaian kelas penulisan yang diadakan oleh salah satu komunitas yang berada di bawah naungan RPC yaitu Komunitas Penulis Online Produktif (KPOP)

Mereka punya dua program untuk saat ini. Ada Author Incubator Program (AIP) dan ada juga Exclusive Level-up Program (ELP)

Yuk, ikutan! Kamu bisa baca jadwal materinya atau langsung tanya-tanya ke admin KPOP ini

Aku juga bakal jadi pemateri di sana dan kita bisa ngobrol lebih personal via grup Whatsapp. 

Kalau menurutmu sendiri gimana, nih? Skill apa yang bisa bikin penulis fiksi nggak tersingkir di era AI? Yuk, tulis di kolom komentar!

Lisandi Noera

Penulis novel ragam genre. CEO Platform Baca Tulis Novel Online Litera. Founder Ruang Pena Cendekia.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *